Sejarah Para Menteri Luar Negeri Indonesia

Departemen Luar Negeri Indonesia

Departemen Luar Negara Republik Indonesia berdiri pada 19 Agustus 1945, pas hari ini 76 tahun kemudian. Tetapi, Menteri Luar Negara ( Menlu) baru terdapat pada 2 September 1945 kala Achmad Subardjo duduk di pos tersebut. Di dini kemerdekaan, salah satu tugas departemen ini adalah melaksanakan diplomasi menggalang sokongan kemerdekaan Indonesia.

Nama- nama yang lumayan terkenal mengisi pos ini antara lain Adam Malik dan Ali Alatas. Adam Malik diketahui selaku salah satu pendiri ASEAN. Sedangkan Ali Alatas diketahui aktif menggalang suara negara- negara tumbuh dalam G- 77. Ali Alatas pula ikut serta dalam upaya penyelesaian sengketa internasional semacam di Kamboja dan Filipina. Pada 2003, dia dikirim selaku utusan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa ( PBB) buat menekan pembebasan Aung San Syu Kyi di Burma ( saat ini Myanmar).

Sejak dini kemerdekaan hingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Menlu rata- rata berprofesi sepanjang setahun ataupun 2 tahun saja. Cuma segelintir yang berprofesi lebih dari 2 tahun, ialah Soenario Sastrowardoyo dan Subandrio di akhir masa demokrasi liberal.

Pada masa demokrasi liberal yang kerap berubah kabinet dan perdana menteri, posisi Menlu juga sering berubah. Terdapat Wilopo yang cuma berprofesi sepanjang 26 hari dari 3 April hingga 29 April 1952. Letaknya setelah itu diserahkan kepada rekan satu partainya di Partai Nasional Indonesia ( PNI), Moekarto Notowidagdo. Wilopo dikala itu pula berprofesi selaku Perdana Menteri dari 3 April 1952 hingga 30 juli 1953.

Tidak hanya Wilopo, Achmad Subardjo pula pernah jadi Menlu tersingkat. Di dini kemerdekaan, sejak 2 September hingga 14 November 1945, dalam kabinet presidensial awal, masa jabatannya cuma 2 bulan 12 hari. Tetapi, Achmad Subardjo 2 kali berprofesi. 5 tahun sehabis lengser dari sofa Menlu, ia dinaikan lagi pada Kabinet Sukiman, sejak 27 April 1951 hingga 3 April 1952.

Para Menlu di dini kemerdekaan dan demokrasi liberal, sejak 1945 hingga 1959, nyaris seluruhnya berasal dari partai politik. Sutan Sjahrir dari Partai Sosialis Indonesia ( PSI), Agus Salim dari Sarekat Islam ( Sang), dan Achmad Subardjo dari Masyumi. Mayoritas berasal dari Partai Nasional Indonesia ( PNI), ialah Soenario Sastrowardoyo, Moekerto Notowidagdo, Wilopo, dan Ruslan Abdul Gani.

Di masa darurat sehabis Agresi Militer Belanda II, kala mandat diberikan Sukarno kepada Syafrudin Prawiranegara sebagai pimpinan Pemerintah Darurat Republik Indonesia, pos Menlu dihuni oleh Alexander Andries Maramis yang dikira tidak berpartai.

Pada masa Demokrasi Terpimpin, salah satunya orang yang mengisi pos Menlu adalah Subandrio, sejak 9 April 1957 hingga 24 Februari 1966. Subandrio bukan orang PNI, dia malah mantan PSI, walaupun sebagian pihak menyebutnya dekat dengan Partai Komunis Indonesia ( PKI). Kala jadi Menlu, Subandrio pernah merangkap selaku Menteri Ikatan Ekonomi Luar Negara, Wakil Perdana Menteri pada Kabinet Dwikora I, dan Kepala Tubuh Pusat Intelejen ( BPI).

Bila Sukarno di masa Demokrasi Terpimpin ataupun Orde Lama memiliki Subandrio selaku Menlu terlama, hingga Soeharto memiliki 3 Menlu yang masa jabatannya lebih dari 10 tahun ialah Adam Malik, Muchtar Kusumaatmadja, dan Ali Alatas.

Dari sekian banyak orang yang pernah jadi Menteri Luar Negara Indonesia, Ali Alatas adalah orang terlama di pos ini. Dia berprofesi dari 21 Maret 1988 hingga 20 Oktober 1999. No 2 terlama sehabis Ali Alatas adalah Adam Malik, yang berprofesi sejak 18 Maret 1966 hingga 1 Oktober 1977. Kemudian disusul oleh Muchtar Kusumaatmadja, yang berprofesi sejak 29 Maret 1978 hingga 11 Maret 1988.

Infografik Mozaik Kementerian Luar Negeri RI. tirto.id/Sabit

Mayoritas Alumni Hukum

Hingga dikala ini, Ali Alatas adalah salah satunya lulusan Perguruan Dinas Luar Negara ( ADLN) yang jadi Menlu. Walaupun ia pula ialah lulusan Hukum Universitas Indonesia. Ia pernah jadi Sekretaris Adam Malik kemudian jadi Staf Perwakilan Indonesia di Perserikatan Bangsa Bangsa ( PBB).

Mayoritas Menlu memiliki latar balik pembelajaran hukum, mulai dari sekolah hukum kolonial Recht Hoge School( RHS) Jakarta, Fakultas Hukum Universitas Leiden di Belanda ataupun fakultas hukum dari universitas di Indonesia, semacam Unversitas Gadjah Mada dan Universitas Indonesia.

Alexander Andries Maramis, Soenario, Achmad Subardjo, dan Muchtar Kusumaatmadja ialah lulusan Fakultas Hukum Universitas Leiden. Sedangkan mantan siswa RHS Jakarta antara lain Mohamad Roem, Wilopo, Moekarto Notowidagdo, dan Ida Anak Agung Gde Agung. Nama terakhir tidak hingga lulus. Para lulusan sekolah hukum itu, sejak era kolonial telah turut dan dalam perjuangan pergerakan nasional melawan pemerintah kolonial.

Subandrio adalah lulusan Geneeskundige Hoge School ( sekolah medis era kolonial Hindia Belanda), sedangkan Syarief Thayeb pernah belajar di Ika Dai Gakku ( sekolah medis era Jepang) di Jakarta.

Tidak hanya itu, terdapat 3 tokoh berijazah sekolah menengah yang pernah menduduki pos ini, ialah Sutan Syahrir, Haji Agus Salim, dan Ruslan Abdulgani. Salah satunya orang dengan tingkatan pembelajaran resmi sangat rendah yang pernah mengetuai departemen ini adalah Adam Malik. Ia cuma berijazah Hollandsche Inlansche School( HIS) Pematangsiantar.

Sebagian orang Menlu, pernah jadi duta besar. Retno Marsudi adalah mantan Duta Besar Indonesia buat Belanda. Marty Natalegawa pernah jadi Duta Besar di Inggris dan Irlandia, Hasan Wirayudha di Mesir dan Djibouti, Syarief Thayeb di Amerika Serikat, Subandrio di Inggris, dan Adam Malik di Polandia dan Uni Soviet. Kebalikannya, terdapat pula mantan Menlu yang jadi duta besar, semacam Achmad Subardjo yang jadi Duta Besar Indonesia di Swiss, Moekarto Notowidagdo di Amerika Serikat, dan Ruslan Abdulgani di PBB.

Bila di departemen lain banyak diisi oleh orang- orang yang berlatar balik militer, posisi Menlu malah seluruhnya diisi oleh sipil. Para mantan jenderal sangat besar cuma jadi duta besar.