Dikutip dari Lingkarjateng.id – Berita Pati Hari Ini, Melimpahnya stok bawang merah pasca panen di kalangan petani di Kabupaten Pati menyebabkan harga jual ke tengkulak menjadi murah. Hal tersebut sangat dikeluhkan para petani, mengingat biaya perawatan bawang merah yang cukup malah.
Menyikapi masalah tersebut, anggota Komisi B DPRD Pati Noor Laila menyarankan pengembangan strategi marketing untuk meningkatkan nilai ekonomis bawang merah.
“Pengembangan strategi pemasaran atau marketing perlu dilakukan di sini, sehingga nantinya petani tidak hanya menjual bawang merah secara mentahan. Melainkan juga dalam bentuk olahan. Kerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Pati dan dinas terkait juga diperlukan untuk menguatkan nilai ekonomis bawang merah,” ujarnya.
Politisi dari Fraksi Gerindra ini pun menambahkan bahwa produksi nasional bawang merah saat ini turun 50 %, sehingga ada kesempatan bagi petani bawang merah Pati untuk menaikkan harga jual. Terlebih harga jual di pasaran kini mencapai Rp25-30 ribu rupiah per kilonya.
“Secara nasional hasil panen bawang merah turun 50%. Saya rasa ini adalah kesempatan besar bagi petani bawang merah yang ada di Pati untuk menaikkan harga jual, dengan menjualnya ke luar daerah Pati,” tambahnya.
Pihaknya berharap, ada kebijakan dari Pemkab Pati yang dapat menstabilkan harga jual bawang merah di kalangan petani.
Selain itu Ketua Komisi B DPRD Pati Sutarto Oenthersa mendukung dan akan membantu para petani bawang terutama di 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Wedarijaksa, Jaken, dan Batangan. juga menanggapi perihal anjloknya bawang merah ini di segment Berita DPRD Pati Lingkarjateng.id
“Masalah ini akan kita selesaikan bersama dengan Ketua DPRD, akan kita jadwalkan rapat bersama ketua. Akan kita koordinasikan juga dengan dinas terkait untuk membuatkan gudang penyimpanan pasca panen terutama di Kecamatan Wedarijaksa, Jaken, dan Batangan,” kata Ketua Komisi B.
Dewan dari Fraksi PDI-P ini pun heran dengan harga bawang merah yang sangat rendah di kalangan petani, jauh berbeda dengan harga di pasaran. Ia juga berharap adanya kerja sama dengan pihak terkait untuk menyelesaikan permasalahan ini.
“Saya juga heran, mengapa harga jualnya sangat rendah Rp10-11 ribu per kilo. Padahal harga di pasaran Rp25-30 ribu. Dirinya juga berharap adanya kerja sama dari Dinas Perdagangan, Dinas Pertanian, dan juga BULOG,” tambahnya.
(Lingkar Network | Arif Febriyanto – Lingkarjateng.id)